Lawang Sewu


Lawang Sewu

Lawang  Sewu merupakan gedung tua yang terletak di komplek tugumuda yang dahulu disebut Wilhelmina Plein, dahulu merupakan gedung megah bergaya art deco, yang digunakan Belanda sebagai kantor pusat kereta api  ( trem ), atau lebih dikenal dengan Nederlandsch Indische Spoorweg Maschaappij ( NIS ). Bangunan karya Arsitek Belanda Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J Queendag menurut catatan sejarah dibangun tahun 1903, kemudian diresmikan pada tanggal 1 juli 1907.
Masyarakat Semarang lebih mengenal gedung ini dengan sebutan Gedung Laswang Sewu (Seribu Pintu), mengingat gedung ini memiliki jumlah pintu dalam jumlah banyak, yang dalam arti kiasan banyak berarti jumlahnya seribu atau lebih, yang dalam bahasa jawa LawangSewu. Lawang berarti pintu dan Sewu berarti seribu.
Dalam perkembangannya setelah kemerdekaan digunakan sebagai kantor Djawatan Kereta Api Indonesia ( DKARI ) atau sekarang PT. Kereta Api Indonesia. Kemudian untuk kepentingan militer, yaitu sebagai kantor KODAM IV Diponegoro ( yang kini dipusatkan di Watu Gong ), dan terakhir digunakan sebagai Kantor Wilayah Departemen Perhubungan Jawa Tengah.
Pada masa perjuangan, gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober – 19 Oktober 1945) di gedung tua inilah lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Sisa pertempuran ini masih terlihat dari bekas tembakan di salah satu tiang penyangga gedung ini.
Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan SK Wali Kota 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi. Saat ini gedung yang masuk dalam 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang digunakan sebagai objek wisata dengan fasilitas berupa peninggalan sejarah arsitek bangunan kuno dan antik, ada ruang bawah tanah dan menara informasi, sering pula digunakan sebagai tempat pameran dalam event tertentu.
Ruang Bawah Tanah
Setelah Jepang mengambil alih pemerintahan Belanda di Indonesia pada sekitar tahun 1942, ruang bawah tanah gedung ini yang sebelumnya merupakan saluran pembuangan air, oleh Jepang di “sulap” menjadi penjara bawah tanah sekaligus saluran pembuangan air. Tempat ini menjadi saksi bisu kekejian Jepang, karena ruang bawah tanah ini sering dipakai sebagai tempat eksekusi para pemuda Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Jepang dan jasad-jasad mereka dibuang ke sungai yang terletak di sebelah gedung ini. Diruang bawah tanah ini terdapat berbagai macam ruang penyiksaan atau penjara, diantaranya:
  • Penjara berdiri : Ruangan berukuran kurang lebih 1 m x 1 m, yang digunakan untuk 6 orang tahanan. Para tahanan dimasukkan kedalam ruangan tersebut yang telah diisi air selutut kemudian mereka di kurung berdiri. Dengan ukuran sesempit itu maka tidak mungkin untuk jongkok, seandainya jongkok pun mereka akan terlelap air. Mereka akan dikurung sampai tewas.
  • Penjara jongkok : Ruangan yang berukuran kurang lebih selebar 1,5 m sedangkan tinggi 1 m, dipakai sebagai penjara jongkok. Tahanan sebanyak 7-8 orang harus duduk jongkok di ruangan yang sempit juga pendek ini dan dikurung sampai tewas.
  • Tempat pemenggalan kepala : Tahanan yang melakukan pemberontakan atau membandel, akan dipenggal kepalanya, didalam sebuah bak. Setelah di penggal kemudian badan dan kepala di tenggelamkan ke sungai melalui jalan bawah tanah.
  • Perantai Badan : Tempat tahanan dengan badan dirantai disiksa secara keji,  baik di cambuk, disundut rokok, atau cara-cara keji lainnya.
Saat ini bangunan yang berusia 181 tahun tersebut kosong dan bereputasi buruk sebagai bangunan angker dan seram. Sesekali digunakan sebagai tempat pameran, di antaranya Semarang Expo dan Tourism Expo. Pernah ada juga wacana yang ingin mengubahnya menjadi hotel. Pada tahun 2007, bangunan ini juga dipakai untuk film dengan judul yang sama dengan bangunannya: Lawang Sewu.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

0 komentar :

Posting Komentar